
Pura Gunung Raung ini berlokasi di Desa Taro kecamatan Tegalalang kabupaten Gianyar, berjarak disekitar 25 km dari kota gianyar atau sekitar 42 km dari kota Denpasar. Letak pura diantara dua buah aliran sungai , yaitu sungai Mas dan sungai Ayung. Suasana di sekitar pura sangat alamiah, seperti suasana pedesaan pada umumnya. Disebelah selatan pura terdapat pemukiman penduduk sedangkan dibagian barat dan timurnya masih hutan.
Dari Diktat kumpulan hasil penelitian Pura IHD disebutkan bahwa pada umumnya tata letak pura yang terdapat pada suatu desa Kuno di Bali berlokasi di hulu dan hilir dari desa tersebut. Oleh karena itu dengan melihat letak /lokasi dari pura Gunun Raung yang terletak di desa Taro itu terletak di sebelah hilir dari banjar Taro Kaja, dimana banjar Taro Kaja merupakan penyungsung dari pura Gunung Raung. Sedangkan disebelah Hulu dari banjar Taro ini terdapat pura Desa maka dari peletakan kedua pura ini dapat disimpulakan bahwa Banjar Taro Kaja merupakan salah satu Desa Kuno yang ada di Bali. Keadaan ini buakn merupakan kebetulan tetapi merupakan penerapan dari konsep Ruabhineda.
Sejarah
Berdirinya Pura Gunung Raung berhubungan erat dengan sejarah perjalanan Dharmayatranya Rsi Markandya dari Jawa ke Bali. Ada beberapa catatan yang menyinggung berdirinya Pura Gunung Raung tersebut, salah satu catatan tersebut adalah Lontar Bali Tatwa. Dalam lontar tersebut dikisahkan bahwa pada awalnya Rsi Markandya mempunyai pesraman di Gunung Pemalang (Jawa Timur), kemudian belaiu pergi ke timur menuju gunung Hyang dengan maksud mencari tempat pesramana yang baru. Akan tetapi belau tidak mendapatkan tempat yang sesuai dengan keinginan beliau, kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke arah timur sampailah beliau di Gunung Raung. Kemudian di Gunung Raung ini beliau bersemedi dalam semedinya beliau mendengar sabda yang menyarankan beliau untuk melanjutkan perjalanan ke arah timur yaitu ke Gunung Agung yang disebut juga dengan nama Ukir Raja.
Setelah mendapatkan whayu tersebut berangkaktlah belau ke araha timur yaitu Gunung Agung dengan disertai oleh 8.000 pengikut. Akhirnya beliau sampailah disuatu tempat kemudian beliau dan pengikutnya berisitirahat. Keseokan harinya beliau beserta pengikut melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar, kemudian banyak dari pengikut beliau mendadak sakit dan meninggal dunia karena diserang oleh suatu penyakit. Sehingga makin lama jumlah pengikut beliau makin berkurang sampai setengahnya.
Berhubung malapetaka yang menyerang pengikut beliau, maka Rsi Markandya memutuskan untuk kembali lagi ke pesraman beliau di Gunung Raung (Jawa Timur) sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru. Sesampainya disana beliau dan pengikut melakukan tapa semadhi untuk memohon bimbingan dari Yang Maha Kuasa, dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan beliau tidak mengaturkan upacara (hama).
Setelah mendapatkan beberapa petunjuk dari Yang Maha kuasa serta dengan menyiapakan beberapa peralatan yang diperlukan maka beliau dan pengikutnya berangkat kembali ke timur. Pengikut-pengikut beliau dikenala dengan nama Wong Age. Tiada diceritakan perjalanannya, sampailah beliau di Basuki (Besakih), dan disanalah beliau mendirikan perkemahan. Suatu ketika sebelum rombongan merabas hutan, disana beliau mengadakan suatu upacara selamatan ditujukan kepada Ida Bethara. Beberapa lama mereka melakukan perabasan hutan sampailah beliau di Gunung Lebah dan disana Rsi Markandya mendirikan Pesraman. Sementara itu rombongan terus melakukan perabasan hutan dan sampailah mereka pada suatu tempat yaitu tempat dimana permulaan pembagian tanah. Tempat tersebut dinamakan Desa Puakan dan sekarang ada desa bernama Puakan, kiranya desa inilah yang dimaksud. Juga ada tempat beliau cukup lama bermukim disana dan merabas hutan untuk dijadikan persawahan, tempat tersebut dinamakan Sarwada yang artinya serba ada karena daerah itu subur dan cukup air.
Setelah pengikut beliau semuanya aman, tentram dan sejahtra maka mulailah beliau membuat pesraman (Pura) yang mirip dengan pesraman beliau di Gunung Raung (Jatim) dan oleh sebab itu pesramannya dinamakan Pura Gunung Raung. Dan tempat disekitarnya dinamakan Desa Taro.
Disamping sumber dari Bali Tatwa juga ada sumber berdasarkan cerita dari penduduk sekitar pura, adapun ceritanya sebagai berikut :
Pada suatu ketika Sang Hyang Paçupati yang bersemayam di gunung Mahameru menitahkan Dang Hyang Markandya untuk pergi ke timur, yang kemudian di ikuti oleh empat ribu orang pengiring. Tiada diceritakan dalam perjalanan itu, maka sampailah beliau pada suatu tempat dimana ada pertemuan antara dua buah sungai dan tempat tersebut dikenala dengan nama Campuhan. Tempat tersebut merupakan suatu tempat yang dapat membersihkan segala sesuatu yang disebut kotor, menyembuhkan penyakit dan lain sebagainya. Lalu rombongan melanjutkan perjalanan serta melakukan perabasan hutan. Pada suatu ketika rombongan diserang oleh suatu penyakit sehingga sebagian besar pengikut beliau meninggal dunia. Akhirnya Rsi Markandya memutuskan untuk kembali ke jawa.
Dijawa beliau menyiapkan diri dengan mencari pengikut dan perlatan yang sesuai, dan beliau mendapatkan pengikut berjumlah tiga ribu orang dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Tiada diceritakan perjalanan beliau, sampailah beliau di suatu tempat dan dinamakan Besuki (besakih) disanalah beliau untuk memutuskan untuk membangun perkemahan. Dan sambil melakukan perabasan hutan dari suatu tempat ke tempat yang lain, sampailah beliau dan pengikut ke suatu tempat yang disebut dengan puakan.
Kembali Rsi Marknadya mendapatkan kesulitan sehingga beliau kembali lagi ke Jawa (Gunung raung) entah berapa lama beliau disana dan kemudian beliau disana beliau melakukan yodga semadi. Dalam semadinya itu beliau melihat sebuah nyala api, lalu nyala api itu dicarinya. Ternyata nyala api tersebut dari batang sebuah pohon yang menyala. Tempat dimana terdapat pohon yang menyala itu didirikan sebuah pura yang mirip dengan pesraman beliau di Gunung Raung sehingga pura tersebut didebut dengan Pura Gunung Raung. Dan tempat dimana ada pohon yang menyala tersebut dinamakan dengan Taru yang artinya kayu, sekarang tempat tersebut bernaam Desa Taro.
Dari kedua sumber tersebut ada sedikit perbedaan tetapi prinsipnya mengandung pengertian yang sama. Maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa Pura Gunung Raung yang terletak di Desa Taro tersebut didirikan oleh Rsi Markandya dan nama pura tersebut diambil dari nama pesraman beliau di Gunung Raung. Kedua sumber tadi juga tidak menyebutkan angka tahun kedatangan Rsi Markandya sehinga sampai saat ini sulitlah ditentukan kapan sebenarnya Rsi Markandya datang ke Bali lalu mendirikan Pura Gunung Raung. Diperkirakan Pura Gunung Raung sudah ada sebelum pemerintahan Raja Anak Wungsu yang berkuasa di Bali sekitar abad ke sebelas masehi.
Disamping itu suatu keunikan yang terdapat di Pura Gunung Raung yaitu berhubungan dengan keberadaan sapi putih. sapi itu sampai saat ini masih keturunannya masih ada. Menurut cerita masyarakat setempat sapi putih itu ada karena dibawa oleh Rsi Markandya dan pengikut beliau dari jawa untuk keperluan mengerjakan sawah. Sekarang sapi tersebut dipelihara dan dikandangkan oleh masyrakat desa tersebut dan dalam suatu upacara tertentu, misalnya dalam upacara "Mapada" sapi itu sangat dipentingkan dalam rangkaian upacara tersebut. Oleh karenanya sampai saat ini sapi itu disucikan dan dikeramatkan.
Perlu ditambahkan juga bahwa Pura Gunung Raung oleh masyarakat setempat juga disebut sebagai Pura Agung. Hal ini mungkin dikaitkan dengan nama sebuah gunung di bali yaitu Gunung Agung. Dimana Gunung Agung inilah merupakan tujuan pertama Rsi Markandya dalam perjalanannya dari Jawa ke Bali.
Denah
Melihat denahnya, Pura Gunung Raung didirikan diatas Bukit yang datar dan cukup luas. Pura tersebut dikelilingi oleh tembok yang masih baik serta mempunyai pintu masuk dari empat penjuru mata angin, yaitu Utara, Timur, Selatan dan Barat. Pintu yang menghadap ke barat hanya pintu kecil saja, sedangkan pintu yang menghadap ke timur adalah pintu gerbang yang besar berupa candi bentar yang terbuat dari bata merah dan batu padas serta memakai ukiran. Sedangkan pintu yang menghadap ke utara dan keselatan sama dengan menghadapa ke timur tapi ukurannya lebih kecil.
Mengenai struktur halamannya adalah terdiri dari tiga halaman, namun keadaannya berbeda dengan pura-pura pada umunya, dimana ketiga halaman itu mengarah satu jurusan dan semakin kedalam semakin meninggi. Tetapi di Pura Gunung Raung terbagi atas tiga halaman dengan strukturnya tidaklah searah, yaitu jaba Pura terletak pada pinggiran timur laut yang memanjang dari Barat ke Timur, sedangkan disebelah barat dari jaba pura tersebut terdapat sebuah dapur dan hutan kecil.
Jaba Tengah terletak disebelah selatan Jaba Pura dan Jeroan Pura terletak disebelah Barat Jaba Tengah. Dengan demikian kalau kita memasuki Pura Gunung Raung ini berdasrkan struktur pembagian denah diatas, maka arah yang dituju pertama adalah masuk dari arah utara ke selatan menuju Jaba Pura dilanjutkan ke selatan menuju Jaba tengah setelah melewati candi bentar. Selanjutnya dari jaba tengah memalingkan langkah ke kanan yaitu menuju arah barat maka setelah melewati candi bentar sampailah kita ke Jeroan Pura. Akan tetapi karena Pura Gunug Raung ini memeliki empat pintu masuk, dengan masuk lewat pintu timur dan selatan kita akan bisa langsung sampai di Jaba Tengah tanpa melewati Jab Pura. Sedangkan kalau kita memasuki Pura lewat pintu barat maka kita akan langsung sampai di Jeroan Pura. Maka ada tiga cara memasuki Pura Gunung Raung ini yaitu lewat Utara, lewat Timur/Selatan dan lewat Barat.
Masing-masing halaman pura ini dibatasi oleh tembok yang tingginya sama dengan tembok batas yang mengelilingi pura ini, serta pada masing-masing batas ada candi bentar yang diapit oleh dua pintu biasa disebelah kiri dan kanannya. Suatu keistimewaan yang terdapat pada tembok pembatas antara Jaba Tengah dan Jeroan Pura adalah adanya sebuah bangunan yang dinamakan Bale Pegat. Pada Bale Pegat ini terdapat sebuah pintu pemisah halaman yang dapat dimasuki dari Jaba Tengah ke Jeroan atau sebaliknya.
Adapun luas Pura keselurhan adalah 37,5 m x 10 m ditambah 80,34 m x 62,07 m yang terbagi menjadi tiga halaman yaitu terdiri dari :
a. Jaba Pura - 37,85 x 10 meter
b. Jaba Tengah - 62,07 x 39,13 meter
c. Jeroan Pura - 62,07 m x 41,21 meter.
Piodalan
Mengenai pelaksanaan Piodalan/Rerainan Pura Gunung Raung di desa Taro jatuh pada Rebo Keliwon uku Ugu setiap 210 hari atau enam bulan Bali. Upacara piodalan biasanya dilakukan dua hari satu malam. Upacara-upacara selain odalan yang biasa dilakukan sampai saat ini adalah rerainan-rerainan yangd ialkukan tiap-tiap hari purnama, minggu keliwon tolu, jumat keliwon Tolu, Rabu Umanis Julungwangi, Kemis wage Sungsang, Rebo Keliwon paang, sabtu Kliwon Klurut, Rebo Wage Klawu dan Jumat Umanis Klawu. Suatu keunikan juga terdapat dalam Pura Gunung raung tersebut adalah para Pemangku Desa Taro yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan upacar di Pura Gunung Raung tidak pernah menggunakan Genta sebagai pelengkap dalam mengantarkan Puja Mantranya, baik dalam pelaksanaan upacara kecil, menengah maupun besar. Apa yang melatar belakangi sampai saat ini belum ada yang mengetahuinya.