Jumat, 12 Februari 2010

SEKILAS TENTANG PURA AGUNG GUNUNG RAUNG


Pura Gunung Raung ini berlokasi di Desa Taro kecamatan Tegalalang kabupaten Gianyar, berjarak disekitar 25 km dari kota gianyar atau sekitar 42 km dari kota Denpasar. Letak pura diantara dua buah aliran sungai , yaitu sungai Mas dan sungai Ayung. Suasana di sekitar pura sangat alamiah, seperti suasana pedesaan pada umumnya. Disebelah selatan pura terdapat pemukiman penduduk sedangkan dibagian barat dan timurnya masih hutan.

Dari Diktat kumpulan hasil penelitian Pura IHD disebutkan bahwa pada umumnya tata letak pura yang terdapat pada suatu desa Kuno di Bali berlokasi di hulu dan hilir dari desa tersebut. Oleh karena itu dengan melihat letak /lokasi dari pura Gunun Raung yang terletak di desa Taro itu terletak di sebelah hilir dari banjar Taro Kaja, dimana banjar Taro Kaja merupakan penyungsung dari pura Gunung Raung. Sedangkan disebelah Hulu dari banjar Taro ini terdapat pura Desa maka dari peletakan kedua pura ini dapat disimpulakan bahwa Banjar Taro Kaja merupakan salah satu Desa Kuno yang ada di Bali. Keadaan ini buakn merupakan kebetulan tetapi merupakan penerapan dari konsep Ruabhineda.

Sejarah

Berdirinya Pura Gunung Raung berhubungan erat dengan sejarah perjalanan Dharmayatranya Rsi Markandya dari Jawa ke Bali. Ada beberapa catatan yang menyinggung berdirinya Pura Gunung Raung tersebut, salah satu catatan tersebut adalah Lontar Bali Tatwa. Dalam lontar tersebut dikisahkan bahwa pada awalnya Rsi Markandya mempunyai pesraman di Gunung Pemalang (Jawa Timur), kemudian belaiu pergi ke timur menuju gunung Hyang dengan maksud mencari tempat pesramana yang baru. Akan tetapi belau tidak mendapatkan tempat yang sesuai dengan keinginan beliau, kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke arah timur sampailah beliau di Gunung Raung. Kemudian di Gunung Raung ini beliau bersemedi dalam semedinya beliau mendengar sabda yang menyarankan beliau untuk melanjutkan perjalanan ke arah timur yaitu ke Gunung Agung yang disebut juga dengan nama Ukir Raja.

Setelah mendapatkan whayu tersebut berangkaktlah belau ke araha timur yaitu Gunung Agung dengan disertai oleh 8.000 pengikut. Akhirnya beliau sampailah disuatu tempat kemudian beliau dan pengikutnya berisitirahat. Keseokan harinya beliau beserta pengikut melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar, kemudian banyak dari pengikut beliau mendadak sakit dan meninggal dunia karena diserang oleh suatu penyakit. Sehingga makin lama jumlah pengikut beliau makin berkurang sampai setengahnya.

Berhubung malapetaka yang menyerang pengikut beliau, maka Rsi Markandya memutuskan untuk kembali lagi ke pesraman beliau di Gunung Raung (Jawa Timur) sekaligus untuk menghimpun kekuatan baru. Sesampainya disana beliau dan pengikut melakukan tapa semadhi untuk memohon bimbingan dari Yang Maha Kuasa, dari Tapa Semadhi itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan beliau tidak mengaturkan upacara (hama).

Setelah mendapatkan beberapa petunjuk dari Yang Maha kuasa serta dengan menyiapakan beberapa peralatan yang diperlukan maka beliau dan pengikutnya berangkat kembali ke timur. Pengikut-pengikut beliau dikenala dengan nama Wong Age. Tiada diceritakan perjalanannya, sampailah beliau di Basuki (Besakih), dan disanalah beliau mendirikan perkemahan. Suatu ketika sebelum rombongan merabas hutan, disana beliau mengadakan suatu upacara selamatan ditujukan kepada Ida Bethara. Beberapa lama mereka melakukan perabasan hutan sampailah beliau di Gunung Lebah dan disana Rsi Markandya mendirikan Pesraman. Sementara itu rombongan terus melakukan perabasan hutan dan sampailah mereka pada suatu tempat yaitu tempat dimana permulaan pembagian tanah. Tempat tersebut dinamakan Desa Puakan dan sekarang ada desa bernama Puakan, kiranya desa inilah yang dimaksud. Juga ada tempat beliau cukup lama bermukim disana dan merabas hutan untuk dijadikan persawahan, tempat tersebut dinamakan Sarwada yang artinya serba ada karena daerah itu subur dan cukup air.

Setelah pengikut beliau semuanya aman, tentram dan sejahtra maka mulailah beliau membuat pesraman (Pura) yang mirip dengan pesraman beliau di Gunung Raung (Jatim) dan oleh sebab itu pesramannya dinamakan Pura Gunung Raung. Dan tempat disekitarnya dinamakan Desa Taro.

Disamping sumber dari Bali Tatwa juga ada sumber berdasarkan cerita dari penduduk sekitar pura, adapun ceritanya sebagai berikut :

Pada suatu ketika Sang Hyang Paçupati yang bersemayam di gunung Mahameru menitahkan Dang Hyang Markandya untuk pergi ke timur, yang kemudian di ikuti oleh empat ribu orang pengiring. Tiada diceritakan dalam perjalanan itu, maka sampailah beliau pada suatu tempat dimana ada pertemuan antara dua buah sungai dan tempat tersebut dikenala dengan nama Campuhan. Tempat tersebut merupakan suatu tempat yang dapat membersihkan segala sesuatu yang disebut kotor, menyembuhkan penyakit dan lain sebagainya. Lalu rombongan melanjutkan perjalanan serta melakukan perabasan hutan. Pada suatu ketika rombongan diserang oleh suatu penyakit sehingga sebagian besar pengikut beliau meninggal dunia. Akhirnya Rsi Markandya memutuskan untuk kembali ke jawa.

Dijawa beliau menyiapkan diri dengan mencari pengikut dan perlatan yang sesuai, dan beliau mendapatkan pengikut berjumlah tiga ribu orang dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Tiada diceritakan perjalanan beliau, sampailah beliau di suatu tempat dan dinamakan Besuki (besakih) disanalah beliau untuk memutuskan untuk membangun perkemahan. Dan sambil melakukan perabasan hutan dari suatu tempat ke tempat yang lain, sampailah beliau dan pengikut ke suatu tempat yang disebut dengan puakan.

Kembali Rsi Marknadya mendapatkan kesulitan sehingga beliau kembali lagi ke Jawa (Gunung raung) entah berapa lama beliau disana dan kemudian beliau disana beliau melakukan yodga semadi. Dalam semadinya itu beliau melihat sebuah nyala api, lalu nyala api itu dicarinya. Ternyata nyala api tersebut dari batang sebuah pohon yang menyala. Tempat dimana terdapat pohon yang menyala itu didirikan sebuah pura yang mirip dengan pesraman beliau di Gunung Raung sehingga pura tersebut didebut dengan Pura Gunung Raung. Dan tempat dimana ada pohon yang menyala tersebut dinamakan dengan Taru yang artinya kayu, sekarang tempat tersebut bernaam Desa Taro.

Dari kedua sumber tersebut ada sedikit perbedaan tetapi prinsipnya mengandung pengertian yang sama. Maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa Pura Gunung Raung yang terletak di Desa Taro tersebut didirikan oleh Rsi Markandya dan nama pura tersebut diambil dari nama pesraman beliau di Gunung Raung. Kedua sumber tadi juga tidak menyebutkan angka tahun kedatangan Rsi Markandya sehinga sampai saat ini sulitlah ditentukan kapan sebenarnya Rsi Markandya datang ke Bali lalu mendirikan Pura Gunung Raung. Diperkirakan Pura Gunung Raung sudah ada sebelum pemerintahan Raja Anak Wungsu yang berkuasa di Bali sekitar abad ke sebelas masehi.

Disamping itu suatu keunikan yang terdapat di Pura Gunung Raung yaitu berhubungan dengan keberadaan sapi putih. sapi itu sampai saat ini masih keturunannya masih ada. Menurut cerita masyarakat setempat sapi putih itu ada karena dibawa oleh Rsi Markandya dan pengikut beliau dari jawa untuk keperluan mengerjakan sawah. Sekarang sapi tersebut dipelihara dan dikandangkan oleh masyrakat desa tersebut dan dalam suatu upacara tertentu, misalnya dalam upacara "Mapada" sapi itu sangat dipentingkan dalam rangkaian upacara tersebut. Oleh karenanya sampai saat ini sapi itu disucikan dan dikeramatkan.

Perlu ditambahkan juga bahwa Pura Gunung Raung oleh masyarakat setempat juga disebut sebagai Pura Agung. Hal ini mungkin dikaitkan dengan nama sebuah gunung di bali yaitu Gunung Agung. Dimana Gunung Agung inilah merupakan tujuan pertama Rsi Markandya dalam perjalanannya dari Jawa ke Bali.

Denah

Melihat denahnya, Pura Gunung Raung didirikan diatas Bukit yang datar dan cukup luas. Pura tersebut dikelilingi oleh tembok yang masih baik serta mempunyai pintu masuk dari empat penjuru mata angin, yaitu Utara, Timur, Selatan dan Barat. Pintu yang menghadap ke barat hanya pintu kecil saja, sedangkan pintu yang menghadap ke timur adalah pintu gerbang yang besar berupa candi bentar yang terbuat dari bata merah dan batu padas serta memakai ukiran. Sedangkan pintu yang menghadap ke utara dan keselatan sama dengan menghadapa ke timur tapi ukurannya lebih kecil.

Mengenai struktur halamannya adalah terdiri dari tiga halaman, namun keadaannya berbeda dengan pura-pura pada umunya, dimana ketiga halaman itu mengarah satu jurusan dan semakin kedalam semakin meninggi. Tetapi di Pura Gunung Raung terbagi atas tiga halaman dengan strukturnya tidaklah searah, yaitu jaba Pura terletak pada pinggiran timur laut yang memanjang dari Barat ke Timur, sedangkan disebelah barat dari jaba pura tersebut terdapat sebuah dapur dan hutan kecil.

Jaba Tengah terletak disebelah selatan Jaba Pura dan Jeroan Pura terletak disebelah Barat Jaba Tengah. Dengan demikian kalau kita memasuki Pura Gunung Raung ini berdasrkan struktur pembagian denah diatas, maka arah yang dituju pertama adalah masuk dari arah utara ke selatan menuju Jaba Pura dilanjutkan ke selatan menuju Jaba tengah setelah melewati candi bentar. Selanjutnya dari jaba tengah memalingkan langkah ke kanan yaitu menuju arah barat maka setelah melewati candi bentar sampailah kita ke Jeroan Pura. Akan tetapi karena Pura Gunug Raung ini memeliki empat pintu masuk, dengan masuk lewat pintu timur dan selatan kita akan bisa langsung sampai di Jaba Tengah tanpa melewati Jab Pura. Sedangkan kalau kita memasuki Pura lewat pintu barat maka kita akan langsung sampai di Jeroan Pura. Maka ada tiga cara memasuki Pura Gunung Raung ini yaitu lewat Utara, lewat Timur/Selatan dan lewat Barat.

Masing-masing halaman pura ini dibatasi oleh tembok yang tingginya sama dengan tembok batas yang mengelilingi pura ini, serta pada masing-masing batas ada candi bentar yang diapit oleh dua pintu biasa disebelah kiri dan kanannya. Suatu keistimewaan yang terdapat pada tembok pembatas antara Jaba Tengah dan Jeroan Pura adalah adanya sebuah bangunan yang dinamakan Bale Pegat. Pada Bale Pegat ini terdapat sebuah pintu pemisah halaman yang dapat dimasuki dari Jaba Tengah ke Jeroan atau sebaliknya.

Adapun luas Pura keselurhan adalah 37,5 m x 10 m ditambah 80,34 m x 62,07 m yang terbagi menjadi tiga halaman yaitu terdiri dari :
a. Jaba Pura - 37,85 x 10 meter
b. Jaba Tengah - 62,07 x 39,13 meter
c. Jeroan Pura - 62,07 m x 41,21 meter.

Piodalan

Mengenai pelaksanaan Piodalan/Rerainan Pura Gunung Raung di desa Taro jatuh pada Rebo Keliwon uku Ugu setiap 210 hari atau enam bulan Bali. Upacara piodalan biasanya dilakukan dua hari satu malam. Upacara-upacara selain odalan yang biasa dilakukan sampai saat ini adalah rerainan-rerainan yangd ialkukan tiap-tiap hari purnama, minggu keliwon tolu, jumat keliwon Tolu, Rabu Umanis Julungwangi, Kemis wage Sungsang, Rebo Keliwon paang, sabtu Kliwon Klurut, Rebo Wage Klawu dan Jumat Umanis Klawu. Suatu keunikan juga terdapat dalam Pura Gunung raung tersebut adalah para Pemangku Desa Taro yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan upacar di Pura Gunung Raung tidak pernah menggunakan Genta sebagai pelengkap dalam mengantarkan Puja Mantranya, baik dalam pelaksanaan upacara kecil, menengah maupun besar. Apa yang melatar belakangi sampai saat ini belum ada yang mengetahuinya.

Letak Dan Fungsi Pelingguh Di Pura Agung Gunung Raung - Taro



1 Linggih Batara ring
Gunung Raung / Majapahit
2 Linggih Batara Maspait
3 Linggih Batara Ulun Masceti
4 Padmasana
5 Pengaruman
6 Kemulan Agung
7 Bale Pingit
8 Linggih Batara Rambut Sedana
9 Linggih Batara Bagawan Penyarikan
10 Undar-andir - Linggih Batara Brahma
11 Linggih Batara Yogi Resi Markandia
12 Taksu / Linggih Batara Bayu
13 Penyawangan Gunung Watukaru

14 Penyawangan Gunung Lebah
15 Penyawangan Gunung Sari
16 Penyawangan Gunung Agung
17 Lumbung Agung
18 Bale Pegambangan / Pel. Merana
19 Penyawangan ke Campuan
20 Bale Penganteb
21 Pemedal Agung
22 Linggih Batari Seri
23 Bale Agung (Bale Pegat)
24 Pejenengan Kulkul
bunga Seleguwi
25 Pejenganan Ratu Ngerurah
26 Pejenengan Ratu Pasek

27 Dalem Amurwa Bumi
28 Pejenengan Kulkul
29

Titi Gonggang
30 Bale Pesandekan / Bale Gong
31 Bale Pesandekan / Bale Gong
32 Bale Pesandekan / Bale Gong
33 Bale Pesandekan / Bale Gong
34 Bale Pesandekan / Bale Gong
35 Bale Pesandekan / Bale Gong
36 Pelinggih Dasar / Punyan Jepun
37 Penyimpenan Wastra / Tedung
38 Bak Tirta
39 Genah Bak
40 Taru Paku Aji

41 Bale Perantenan
42 Genah Mesadekan / Nunas Pica
43 Bale Pesandekan
44 Wantilan
45 Kulkul ring duur punyan Leci
46 Kantor Kepala Desa
47 Jroan Pemangku
48 Bale Pewaregan
49 Aling-aling
50 Gudang
51 Tempat upacara Subak
52 Pura Dalem Pesimpangan
P Pemedal Utama
H Hutan
Letak Pura Pura Gunung Raung ini terletak di antara banjar Taro Kaja dan banjar Taro Kelod. Pura ini menjadi perbatasan dari kedua banjar tersebut. Desa Taro ini terletak di kecamatan Tegalalang, kabupaten Gianyar
Data Pengelingsir Pura
  • Pemangku:
  • Panyarikan:
Piodalan / Pujawali / Patoyan

Rahina lan Wuku Piodalan ring Pelinggih Pelinggih Nomer
1 Tumpek Landep Pura Dalem Pingit
2 Redite Ukir Pelinggih Batara Batu Madeg 1
3 Anggara Kasih Kulantir Pura Sanghyang Tegal ?
4 Redite Umanis Tolu Pelinggih Begawan Penyarikan 9
5 Sukra Umanis Tolu Pelinggih Bale Agung 23
6 Wrespati Wariga Ratu Gede Ratu Anom ?
7 Tumpek Wariga Gong 5
8 Buda Umanis Julungwangi Pelinggih Uluning Masceti 3
9 Anggara Kasih Julungwangi Pelinggih Dalem Waturenggong ?
10 Wrespati Wage Sungsang Pelinggih Maspait 2
11 Soma Kliwon Kuningan Pura Agung ?
12 Bude Kliwon Pahang Pelinggih Ratu Pasek 26
13 Tumpek Krulut Pelinggih Ratu Ngerurah 25
14 Redite Umanis Merakih Pelinggih ring Catuspata ?
15 Anggara Kasih Tambir Pelinggih ring Sanghyang Alang ?
16 Tumpek Uye
  • Pelinggih ring Sanghyang Tegal
  • Di Elephant Park (di depan Pura Dalem Pingit)

17 Anggara Kasih Prangbakat Pelinggih ring Pura Dalem Simpangan
18 Buda Umanis Prangbakat Pelinggih Yogi Resi Markandia 11
19 Buda Kliwon Ugu Semua Pelinggih Pura Agung Gunung Raung
20 Buda Wage Kelawu Pelinggih Rambut Sedana & Melanting 8
21 Sukra Umanis Kelawu Pengayengan Batari Seri 22
22 Purnama Kasa Wali Pura Dalem Pingit & Jaba Tengah
Sejarah Pura
Pura Gunung Raung di Taro

…acara sang sista, dharma ta ngarannika.
Sista ngaran sang hyang satya wadi,
sang apta, sang patirthan, sang pana
dahan upadesa (Sarasamuscaya 40).

Maksudnya:
Tradisi hidup orang utama yang disebut sang Sista juga disebut Dharma. Orang yang disebut Sista itu adalah orang yang selalu menyatakan kebenaran (Satyavadi), orang yang dapat dipercaya karena cakap dan bijaksana (apta), orang yang menjadi tempat penyucian diri (sang patirthan) dan orang yang selalu mengajarkan pendidikan kerohanian (penadahan upadesa).

Keberadaan Pura Gunung Raung di Desa Taro berhubungan dengan perjalanan Dang Hyang Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung Jawa Timur ke Bali. Sebagai seorang ”dang hyang” yang sudah berstatus orang suci tentunya beliau terpanggil untuk melakukan penyebaran pendidikan kerohanian yang dalam Sarasamuscaya 40 disebut ”panadahan upadesa”. Penyebaran pendidikan rohani tersebut dilakukan untuk membangun umat agar memiliki kemampuan hidup mandiri. Karena kendali kehidupan di dunia ini diawali dengan membangun kesadaran rohani untuk menata kehidupan duniawi.

Dang Hyang Markandya di samping beliau seorang yang Sista atau orang utama karena ahli kitab suci Weda, juga beliau adalah orang suci yang sudah mendapat kepercayaan umat. Dang Hyang Markandya pun menjadi sosok orang suci yang senantiasa dijadikan tumpuan untuk memohon penyucian diri oleh umat. Dalam perjalanan sucinya beliau sebagai cikal bakalnya mendirikan Pura Basukian sebagai pura yang paling awal didirikan di Pura Besakih. Setelah itu barulah Dang Hyang Markandya berasrama di Taro yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.

Pura Gunung Raung ini terletak di antara Banjar Taro Kaja dan Banjar Taro Kelod. Pura ini menjadi perbatasan dari kedua banjar tersebut. Desa Taro ini terletak di Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar, pada umumnya letak pura di Desa Kuna di Bali adalah di hulu dan di hilir desa. Pura Gunung Raung ini terletak di hilir atau teben dari Banjar Taro Kaja dan di hulu atau luwan Banjar Taro Kaja. Pendirian pura inilah yang ada kaitannya dengan riwayat perjalanan Resi atau Dang Hyang Markandya dari Jawa Timur ke Bali.

Dalam lontar Bali Tatwa diceritakan perjalanan Resi Markandya dari Jawa Timur ke Bali. Pada mulanya Resi Markandya berasrama di Damalung Jawa Timur. Beliau mengadakan perjalanan suci (tirthayatra) ke arah timur dan sampailah beliau di Gunung Hyang. Di tempat ini beliau tidak mendapatkan tempat yang ideal. Selanjutnya, Resi Markandya melakukan perjalanannya ke arah timur lagi. Dalam perjalanan menuju ke timur itu beliau menemukan tempat di Gunung Raung Jawa Timur.

Di tempat inilah beliau membangun asrama untuk beberapa lama. Di Asrama Gunung Raung, Resi Markandya melakukan samadi. Dalam samadinya beliau mendapatkan petunjuk agar beliau mengadakan perjalanan ke Pulau Bali. Petunjuk gaib itu beliau laksanakan. Pada suatu hari yang baik beliau mengadakan perjalanan ke Bali diikuti oleh 8.000 pengikut.

Sampai di suatu tempat dengan hutannya yang lebat beliau berkemah dan membangun areal pertanian. Namun entah apa sebabnya sebagian besar pengikut beliau kena wabah penyakit dan meninggal. Tinggal hanya 4.000 pengikut saja. Resi Markandya kembali ke Jawa Timur mohon petunjuk pada Sang Hyang Pasupati.

Setelah melalui samadi Resi Markandya mendapatkan petunjuk bahwa kesalahannya adalah tidak mengaturkan sesaji untuk mohon izin merabas hutan. Setelah itu Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung atau disebut juga Ukir Raja. Beliau diikuti lagi oleh pengiring yang disebut Wong Age.

Sampai di Gunung Agung beliau mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu di Besakih yaitu di Pura Basukian sekarang. Setelah itu barulah beliau membangun lahan pertanian dengan hati-hati untuk mengembangkan kehidupan agraris. Pengembangan areal pertanian terus dilakukan oleh rombongan Resi Markandya sampai ke Gunung Lebah. Sampai ke Desa Puakan, di desa inilah beliau mengadakan penataan kehidupan petani seperti pembagian tanah, dll. Desa itulah terus bernama Desa Puakan.

Ada juga beliau mengadakan pembukaan areal pertanian sampai di Desa Sarwa Ada. Setelah semua pengikutnya mendapatkan areal pertanian untuk mengembangan kehidupan agraris lalu beliau membangun suatu pasraman yang mirip dengan pasramannya di Gunung Raung Jawa Timur. Setelah itu kembali Resi Markandya mendapatkan beberapa kesulitan. Untuk itu Resi Markandya kembali ke Jatim dan mengadakan samadi.

Dalam samadi itulah beliau mendapat petunjuk agar melakukan samadi di pasraman beliau di Bali. Setelah kembali ke Bali lalu beliau mengadakan samadi ternyata Resi Markandya melihat ada sinar di suatu tempat. Nyala itu ternyata berasal dari sebatang pohon yang menyala. Di pohon yang menyala itulah Resi Markandya mendirikan Pura Gunung Raung sekarang.

Karena berasal dari pohon yang menyala akhirnya tempat itu dinamakan Desa Taro yang berasal dari kata ”taru” artinya pohon. Pura dan pasramannya dibuat mirip dengan yang ada di Gunung Raung. Karena itulah pasraman dengan puranya diberi nama Pura Gunung Raung di Desa Taro sekarang.

Di Desa Taro ada sapi putih konon keturunan Lembu Nandini. Sampai tahun 1974 keturunan sapi putih itu masih ada beberapa ekor saja. Sapi putih itu sangat dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang resi yang menganut paham Waisnawa. Tetapi dengan adanya sapi putih itu dapat ditarik kesimpulan bahwan Resi Markandya juga amat menghormati keberadaan paham Siwaistis yang memang merupakan suatu sekte dalam agama Hindu.

Sekte itu adalah sampradaya atau perkumpulan perguruan nonformal untuk mendalami ajaran agama Hindu yang merupakan agama yang terbuka untuk siapa saja. Masing-masing sampradya memang memiliki ciri khasnya sendiri seperti Ista Dewata yang dipilih dan sistem Adikari atau metode pendalaman kerohanian. Tetapi dasarnya semuanya sama yaitu kitab suci Weda.

Menurut Swami Siwanandaa, agama Hindu menyiapkan hidangan spiritual kepada setiap orang sesuai dengan perkembangan hidupnya. Karena itu tidak ada pertentangan dalam keanekaragaman sistem sampradaya dalam beragama Hindu tersebut.

* I Ketut Gobyah

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/11/7/bd2.htm

Pura Gunung Raung sebagai Pasraman
Pura Gunung Raung ini agak lain daripada Pura Kahyangan Jagat pada umumnya. Pura ini menghadap ke timur, sehingga kalau kita sembahyang kita akan menghadap ke arah barat seperti halnya di Pura Luhur Ulu Watu. Keunikan yang lain adalah Pura Gunung Raung memiliki empat pintu masuk dari empat penjuru. Pintu masuk dari arah timur, utara dan selatan dibuat dari Candi Bentar dengan ukirannya. Sedangkan pintu dari arah barat hanya dengan pintu kecil saja. Apa makna ada empat pintu masuk ini belum ada sumber yang secara pasti menjelaskan.

Karena Pura Gunung Raung ini sebagai pasraman tempat mendalami ilmu kerohanian (Para Vidya) dan ilmu keduniaan (Apara Vidya) maka ada kemungkinan empat pintu kesemua arah sebagai pengejawantahan pentanyaan Mantra Rgveda I.89.1 yang menyatakan: A no bhadarah kratavo yantu visavanta. Artinya: Semoga pemikiran yang mulia datang dari semua arah.

Sepertinya demikianlah makna adanya empat pintu (P) Pura Gunung Raung sebagai Pasraman Dang Hyang Markandya. Keunikan yang lain adalah areal pura ini juga sangat berbeda dengan pura lainnya di Bali. Umumnya letak jaba sisi menuju jaba tengah terus menuju jeroan pura terletak satu arah. Namun, Pura Gunung Raung sedikit berbeda. Masuk dari jaba sisi dari arah utara menuju ke selatan.

Sebelah barat jaba sisi ini terdapat dapur dan hutan kecil. Jaba tengahnya terletak di selatan jaba sisi. Namun jeroan puranya tidak terletak di selatan jaba tengah namun terletak di barat jaba tengah. Di areal jaba sisi terdapat bangunan Titi Gonggang (29), balai kulkul (28) dan gedong tempat busana. Di jaba tengah terdapat 10 bangunan antara lain balai pertemuan, Pelinggih Dalem Purwa Bumi (27), Pelinggih Ratu Pasek (26), Pelinggih Ratu Ngerurah (25), Balai Gong (30-32), Titi Gonggang (29), Balai Kulkul dari pohon Salagui (24), Balai Pegat (23), Palinggih Batara Sri (22) dan Pelinggih Bale Agung (23?). Sementara di jeroan pura tidak kurang dari 20 macam bangunan suci. Antara lain yang paling penting adalah Pelinggih Batara Gunung Raung (1).

Keberadaan Pura Kahyangan Jagat di Bali umumnya terus tumbuh dari generasi ke generasi. Berdasarkan prasasti yang dijumpai di Pura Gunung Raung diduga zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu. Kemungkinan Pura Gunung Raung di Taro ini sudah ada sebelum abad ke-11 Masehi. Karena pura ini terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman maka ada dijumpai Pelinggih Penyawangan Bathara Majapahit (2). Padahal zaman Majapahit itu ratusan tahun setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu.

Selanjutnya ada Pelinggih Mundar Mandir (10), pelinggih ini juga disebut Pelinggih Omkara. Fungsi pelinggih ini untuk mengingatkan umat agar setiap memanjatkan doa agar senantiasa mengucapkan Omkara saat awal berdoa dan saat menutup doa. Hal itu memang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra II.74. Omkara awal untuk mengarahkan agar doa tersebut mengarah pada sasaran yang benar dan suci, sedangkan Omkara sebagai akhir pengucapan doa agar makna memuja itu tidak lepas begitu saja.

Selanjutnya Pelinggih Ratu Penyarikan (9) adalah pelinggih untuk memuja Tuhan agar kita mendapatkan tuntunan Hyang Widhi agar bisa menjalani hidup sesuai dengan tahapan hidup sebagaimana diajarkan dalam ajaran Catur Asrama. Kata ”nyarik” dalam bahasa Bali artinya tahapan.

Pelinggih Ratu Rambut Sedhana (8). Makna pemujaan Tuhan sebagai Rambut Sedhana sebagai wujud motivasi agar umat manusia mengolah isi bumi ini agar dapat menumbuhkan sarana hidup yang tak terhingga. Kata rambut bermakna sesuatu tak terhitung banyaknya. Sedhana artinya sarana hidup yang tak terhitung jumlahnya. Mengolah alam agar senantiasa menghasilkan sarana hidup yang tak terhingga tentunya tidak mudah. Namun demikian, itulah yang wajib diupayakan oleh umat manusia dalam mengolah kesuburan alam ini.

Ada penyawangan sebagai Pelinggih Masceti (3). Pura ini untuk memuja Tuhan dalam memohon agar tidak terjadi wabah penyakit seperti hama bagi tanaman dan hama, sebab hewan karena sumber alam itu yang dijadikan tumpuan hidup masyarakat.

Selanjutnya ada Balai Pengeraos (?) sebagai simbol apa pun yang akan dilakukan hendaknya didahului dengan musyawarah. Selanjutnya ada Kamulan Agung (11) sebagai pemujaan leluhur atau Dewa Pitara dari Dang Hyang Markandiya sebagai seorang pandita utama tentunya harus memberi contoh dalam memuja Tuhan dan Dewa Pitara dari leluhur beliau.

Di Pura Gunung Raung ini terdapat juga Pelinggih Penyawangan seperti ke Pura Luhur Ulu Watu (Pelinggih No. 13? Maksudnya mungkin Penyawangan Gunung Batukaru? Uluwatu kan baru ada pada Era Danghyang Nirarta?), Gunung Batur (14), Gunung Sari (15), Gunung Agung (16), Penyawangan ke Campuan Ubud (19), Padmasana (4) dan ada juga Balai Pingit (7) umumnya sebagai menempatkan Tirtha Pingit.

Pelinggih Penyawangan tersebut nampaknya didirikan setelah pengaruh Majapahit masuk ke Bali. Upacara piodalan di Pura Gunung Raung ini lakukan setiap 210 hari yaitu setiap Buda Kliwon Ugu. Setiap hari purnama diadakan upacara Mesangkepan para pengurus desa. Pemangku dan anggota desa hadir dalam upacara Mesangkepan itu.

Yang agak unik di pura ini upacara piodalan dan upacara lainnya cukup dipimpin oleh pemangku pura. Pemangku dalam memimpin upacara kecil, menengah maupun upacara besar tidak memakai genta.

Pura Kahyangan Jagat yang sudah berada sebelum pengaruh Majapahit ke Bali umumnya dalam memimpin upacara tidak menggunakan pandita dwijati dari keturunan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda. Hal ini pun dapat dibahas kembali dalam melakukan penyempurnaan sistem kepanditaan Hindu yang benar-benar bersumber dari sastra agama Hindu yang ada. Karena agama itu sebagaimana dinyatakan dalam Sarasamuscaya 181: Agama ngaran kawarah Sang Hyang Aji. Artinya agama adalah apa yang dinyatakan dalam kitab suci.

Mantan Anggota DPRD Gianyar Jadi Tersangka Penipuan

Aries Wicaksono
Liputan6.com, Gianyar: Made Dana, mantan anggota DPRD Gianyar dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru periode 2004-2009 yang dipecat pada 2008 karena kasus penipuan akhirnya dijadikan tersangka, Kamis (28/1). Ia diperiksa aparat Kepolisian Sektor Ubud, Gianyar, Bali, terkait laporan dari sejumlah warga yang mengaku tertipu dengan aksinya sebagai calo anggota Dewan.

Sebelumnya, tepatnya Selasa malam silam, polisi menjemput paksa Made Dana. Ini setelah berulang kali mantan wakil rakyat tersebut tidak mengindahkan panggilan dari penyidik Polsek Ubud.

Seorang warga Kecamatan Payangan, Gianyar, Anak Agung Gde Puspa, mengaku tertipu uang sebanyak Rp 25 juta. Uang ini sebagai imbalan kepada tersangka yang akan membantu Gde Puspa untuk menjadi anggota Dewan. Namun, setelah proses Pemilihan Umum Legislatif 2009 selesai, korban tak kunjung diangkat sebagai wakil rakyat.

Sedangkan tersangka di depan polisi membantah dirinya telah menjanjikan dapat menjadikan korban sebagai anggota Dewan dengan meminta imbalan uang. Tersangka mengaku uang yang diterimanya murni sebagai pinjaman biasa. Namun, polisi tidak begitu saja mempercayai pengakuan tersangka sehingga tetap memproses dan memeriksanya.(IDS/ANS)